Setelah jalan-jalan di dunia maya, saya sempat mendapatkan info terkait hadis-hadis dhaif seputar ramadhan
yang secara otomatis saya pun berniat membagikan kembali info ini.
saling berbagi tentunya hal yang baik untuk sesama. Betapa banyak
hadis-hadis yang menerangkan tentang keutamaan bulan ini.
Diantaranya
disebutkan bahwa Ramadan menghapus dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya
dan menyediakan kesempatan yang lebih banyak untuk menambah pahala
dengan memperbanyak ibadah. Berangkat dari semangat ibadah itulah
kemudian banyak orang yang ‘terpeleset’ ke dalam ibadah-ibadah yang
tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah di bulan ini.
Hadits Palsu Seputar Bulan Ramadhan |
Ada banyak hadis-hadis dhaif, bahkan palsu (maudhu’) yang berserakan
seputar bulan Ramadhan. Abdullah al-Himadi, seorang sarjana hadis dari
Emirat Arab, menghimpun ratusan hadis dha’if dalam kitabnya Tahdziru
al-Khillan min Riwayati al-Ahadits al-Dha’ifah haula Ramadhan. Menurut
penelitian ini, terdapat lebih dari seratus hadis dha’if dan maudhu’
(palsu) seputar bulan Ramadan. Ini menunjukkan bahwa Ramadhan merupakan
‘surga empuk’ bagi beredarnya hadis-hadis palsu.
Dalam ilmu Mustalahul Hadis disebutkan bahwa di antara sebab munculnya
hadis-hadis dha’if adalah semangat ibadah yang terlalu tinggi, namun
tidak diiringi oleh sikap ke-hati-hati-an dalam melihat dalil-dalil
agama. Subhi Salih (Ulumul Hadits wa Mustalahuh, 2009: 249) menyatakan
bahwa banyak orang yang zuhud dan sufi di zaman dulu tak dapat menahan
nafsu untuk memalsukan hadis untuk kepentingan mendorong orang berbuat
baik.
Di zaman sekarang kita sering kali pula menyaksikan para dai dan mubaligh, yang karena keterbatasan pengetahuan tentang kualitas dalil-dalil agama, juga terlibat dalam mempropagandakan hadis-hadis dha’if dan palsu tersebut. Padahal dalam Islam, semangat tinggi dan niat baik saja tidak cukup untuk beribadah, namun juga harus sesuai dengan tuntunan otentik yang dicontohkan Rasulullah Saw. (QS. 3: 31).
Di zaman sekarang kita sering kali pula menyaksikan para dai dan mubaligh, yang karena keterbatasan pengetahuan tentang kualitas dalil-dalil agama, juga terlibat dalam mempropagandakan hadis-hadis dha’if dan palsu tersebut. Padahal dalam Islam, semangat tinggi dan niat baik saja tidak cukup untuk beribadah, namun juga harus sesuai dengan tuntunan otentik yang dicontohkan Rasulullah Saw. (QS. 3: 31).
Definisi Hadis Sahih
Ibnu Salah (w. 643 H/1245), salah seorang ulama hadis abad pertengahan
yang memiliki banyak pengaruh di kalangan ulama hadis sezaman dan
sesudahnya, telah memberikan definisi atau pengertian hadis sahih
sebagai berikut:
“Hadis yang bersambung sanad-nya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhabit sampai akhir sanad, tidak terdapat di dalamnya kejanggalan dan cacat” (Muqaddimah Ibnu Shalah, vol. I, hal. 1).
Terdapat lima unsur dalam kriteria hadis sahih. Pertama, sanad bersambung. Yang dimaksud dengan sanad bersambung ialah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya, sampai akhir sanad dari hadis itu. Kedua, periwayat bersifat adil. Diantara unsur adil di sini adalah dapat dipercaya, tidak berbuat fasik, memelihara kehormatan dan tidak berbuar dosa besar.
Ketiga, periwayat bersifat dhabit, yaitu orang yang kuat hafalannya tentang apa yang didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja ia menghendakinya. Keempat, terhindar dari syaz, yaitu periwayatnya tidak terpecaya (tsiqat) atau matan dan sanad-nya bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang yang sama-sama terpercaya. Terhindar dari illat, yaitu sebab yang tersembunyi yang merusakkan kualitas hadis.
Pengertian hadis sahih yang telah disepakati oleh mayoritas ulama hadis di atas telah mencakup sanad dan matan hadis. Kriteria yang menyatakan bahwa rangkaian periwayat dalam sanad harus bersambung dan seluruh periwayatnya harus adil dan dhabit adalah kriteria untuk kesahihan sanad, sedang keterhindaran dari jangggal dan cacat, selain merupakan kriteria untuk sanad, juga berlaku untuk matan hadis (Nuruddin ‘Itr, Manhaju al-Naqdi fi Ulumil Hadis, 242-3). Karenanya, ulama hadis pada umumnya menyatakan bahwa hadis yang sanad-nya sahih belum tentu matan-nya juga sahih.
Dengan mengacu pada unsur-unsur kaidah kesahihan hadis tersebut, maka ulama menilai bahwa hadis yang memenuhi semua unsur itu dinyatakan sebagai hadis sahih, yakni sahih sanad dan sahih matan-nya. Apabila sebagian unsur tidak terpenuhi, maka hadis yang bersangkutan bukanlah hadis sahih, alias hadis dha’if.
الْحَدِيْثُ الْمُسْنَدُ الذِي اِتَّصَلَ إِسْنَادُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَابِطِ عَنِ الْعَدْلِ الضَابِطِ إِلَي مُنْتَهَاُه وَ لَا يَكُوْنُ شَاذًا وَلَا مُعَلَّّلاً
“Hadis yang bersambung sanad-nya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhabit sampai akhir sanad, tidak terdapat di dalamnya kejanggalan dan cacat” (Muqaddimah Ibnu Shalah, vol. I, hal. 1).
Terdapat lima unsur dalam kriteria hadis sahih. Pertama, sanad bersambung. Yang dimaksud dengan sanad bersambung ialah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya, sampai akhir sanad dari hadis itu. Kedua, periwayat bersifat adil. Diantara unsur adil di sini adalah dapat dipercaya, tidak berbuat fasik, memelihara kehormatan dan tidak berbuar dosa besar.
Ketiga, periwayat bersifat dhabit, yaitu orang yang kuat hafalannya tentang apa yang didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja ia menghendakinya. Keempat, terhindar dari syaz, yaitu periwayatnya tidak terpecaya (tsiqat) atau matan dan sanad-nya bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang yang sama-sama terpercaya. Terhindar dari illat, yaitu sebab yang tersembunyi yang merusakkan kualitas hadis.
Pengertian hadis sahih yang telah disepakati oleh mayoritas ulama hadis di atas telah mencakup sanad dan matan hadis. Kriteria yang menyatakan bahwa rangkaian periwayat dalam sanad harus bersambung dan seluruh periwayatnya harus adil dan dhabit adalah kriteria untuk kesahihan sanad, sedang keterhindaran dari jangggal dan cacat, selain merupakan kriteria untuk sanad, juga berlaku untuk matan hadis (Nuruddin ‘Itr, Manhaju al-Naqdi fi Ulumil Hadis, 242-3). Karenanya, ulama hadis pada umumnya menyatakan bahwa hadis yang sanad-nya sahih belum tentu matan-nya juga sahih.
Dengan mengacu pada unsur-unsur kaidah kesahihan hadis tersebut, maka ulama menilai bahwa hadis yang memenuhi semua unsur itu dinyatakan sebagai hadis sahih, yakni sahih sanad dan sahih matan-nya. Apabila sebagian unsur tidak terpenuhi, maka hadis yang bersangkutan bukanlah hadis sahih, alias hadis dha’if.
Hukum Mengamalkan Hadis Dha’if
Para ulama sepakat untuk menolak pengamalan hadis dhaif, terutama yang
berkaitan dengan informasi tentang halal dan haram. Para ahli hadis
bersikap tasyaddud (ketat dan keras) dalam hal tersebut, sehingga mereka
hanya menerima hadis yang paling tinggi derajatnya, atau yang disebut
‘sahih’. Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa bahkan dalam masalah istihbab
(perbuatan yang dianggap sunnah) pun hadis dha’if tertolak. Dalam
Majmu’atul Fatawa (vol. I, hal. 251), ia menyatakan:
“Tidak seorang imampun yang membolehkan menjadikan suatu perbuatan wajib ataupun sunnah dengan semata-mata hadis dha’if. Barang siapa yang mengatakan hal itu, maka sungguh ia telah menyalahi ijmak ulama”.
Hal itu ditambah lagi bahwa dalam agama Islam terdapat sebuah kaedah mengenai pelaksanaan ibadah, yakni ia harus berdasarkan nash yang otentik, baik dari al-Quran maupun al-Sunnah. Rumusan kaedah tersebut berbunyi:
“Pada dasarnya hukum ibadah adalah haram dan menunggu perintah”
Namun dalam masalah keutamaan-keutamaan (fadhailu al-a’mal), terjadi perdebatan di kalangan para ulama. Sebagian ulama menolak secara mutlak hadis-hadis dhaif yang terkait dengan keutamaan-keutamaan satu perbuatan. Pendapat ini dipegang oleh Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm, Ibnul Arabi dan Ibnu Hibban (al-Hamadi, 2002: 37).
Sebagian menerimanya tanpa syarat apapun. Sebagian lagi menerima hadis dhaif dengan tiga syarat, yaitu: pertama, hadis yang diriwayatkan itu tidak terlalu daif, kedua, isinya termasuk ke dalam prinsip umum yang telah ditetapkan oleh al-Quran dan Hadis sahih lain, dan ketiga, tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat (Subhi Salih, 2009: 197). Ada pula yang menambahkan syarat keempat dan kelima, yaitu tidak menisbahkan hadis tersebut kepada Rasulullah saat mengamalkannya dan tidak mengandung informasi yang bertentangan dengan realitas empirik (Yusuf Qardlawi, Fatawa Mu'ashirah).
1. Do’a Memasuki Bulan Ramadan
Artinya; “Dari Anas bin Malik, ia berkata, adalah Nabi Saw. apabila memasuki bulan Rajab, beliau berdo’a, Ya Allah, karunialah kami keberkahan di bulan Rajab dan Sya’ban, dan karunialah kami keberkahan di bulan Ramadan”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad (vol. V, no. 2387), Ibnu Abi Dunya dalam Fadhlu Ramadhan, Imam Baihaqi dalam kitab Sya’bu al-Iman (vol. VIII, no. 3654), Abu Nu’aim dalam al-Hulliyah (vol. VI, no. 269), al-Bazzar dalam kitab Musnad (no 402) dan al-Tabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath (vol. IX, no. 4086). Dalam hadis ini terdapat dua tokoh yang lemah, yaitu Zaidah bin Abi Raqqad dan Ziyad bin Abdillah al-Numairi al-Bashri.
Menurut Bukhari dan Nasai (al-Dhu’afa wa al-Matrukin, vol. I, hal. 180) mereka adalah orang yang munkar al-hadist. Selain itu, hadis ini telah di-dhaif-kan oleh kritikus hadis terkemuka, di antaranya adalah al-Nawawi dalam kitab al-Adzkar (vol. I, no. 541), al-Dzahabi dalam Mizanu al-I’tidal (vol. II, hal. 65), Ibnu Hajar dalam Tahdzibu al-Tahdzib (vol. III, hal. 263), Ahmad Syakir dan Syu’aib Arnauth ketika men-tahqiq kitab Musnad imam Ahmad serta Nashiruddin Albani dalam Misykatul Mashabih (vol. I, hal. 306).
Do’a di atas sesungguhnya merupakan sesuatu yang sangat baik dan positif, karena seperti dinyatakan Ibnu Rajab al-Hanbali (al-Manawi, Faidhul Qadir, vol. V, hal. 167) ia melambangkan harapan seorang mukmin agar bisa mendapatkan kesempatan menambah amal salihnya. Di luar ibadah mahdlah, seorang muslim memang diperkenankan untuk mengucapkan do’a-do’a yang baik, bahkan dengan selain bahasa arab sekalipun. Inilah alasan mengapa para ahli hadis masih bersedia ‘meloloskannya’ dalam kitab hadis masing-masng.
Imam Ahmad pernah mengatakan: “idza jaa al-halal wa al-haram syaddadna fi al-asanid, wa idza jaa al-targhib wa al-tarhib tasahhalna fi al-asanid” (jika terdapat satu hadis mengenai halal dan haram, kami perketat penyeleksian sanad, dan jika terdapat satu hadis tentang tentang dorongan berbuat baik dan ancaman berbuat maksiat, kami mudahkan penyeleksian sanad) (dikutip dari Majmuatu al-Fatawa Ibnu Taimiyyah, vol. XIIX, hal. 65). Sehingga do’a di atas pada dasarnya tidak masalah jika ingin diucapkan, dengan syarat tidak meyakininya sebagai sebuah hadis yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.
2. Keutamaan Bulan Ramadan
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Sahih-nya (vol. III, no. 1887) dan al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman (vol. III, no. 3068). Hadis ini tercantum pula dalam kitab Fadlailu Ramadan karya Ibnu Abi Dunya, al-Dlu’afa karya al-‘Uqaili dan al-Kamil karya Ibnu Adi. Mengenai statusnya, di dalam rantaian periwayatnya terdapat Sallam bin Sawar yang dinilai oleh para kritikus hadis sebagai orang yang dhaif (Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, hal. 441)) dan Maslamah bin al-Shalt, seorang perawi yang tidak dikenal (laysa bil ma’ruf) dan hadisnya tidak dipakai (matrukul hadis).
Menurut ahli hadis kontemporer, Nashiruddin Albani, hadis ini adalah hadis munkar (al-Silsilah al-Dlaifah, vol. IV, no. 1569). Hadis munkar adalah hadis di mana sanad-nya terdapat rawi yang pernah melakukan kesalahan yang parah, pelupa, atau ia seorang yang jelas melakukan maksiat (fasiq).
Ke-dhaif-an hadis ini bisa pula ditinjau dari segi matan, karena telah membagi dan membatasi rahmat, maghfirah dan pembebasan neraka dari Allah pada waktu-waktu tertentu. Padahal tiga hal tersebut ada selama berlangsungnya Ramadhan. Konsekwensi dari ke-dhaif-annya, hadis ini tidak bisa dipakai, karena telah menyempitkan apa yang dibuat luas oleh Allah. Para dai dan mubaligh sebaiknya tidak menyampaikannya, bahkan sebisa mungkin memperingatkan jamaah akan status dhaif dari hadis ini, baik secara matan ataupun sanad.
Sebagai alternatifnya, bisa disampaikan hadis-hadis lain yang menerangkan keutamaan bulan Ramadan. Misalnya hadis:
“Dari Abu Hurairah ia berkata, tatkala Ramadan tiba, Rasulullah Saw. bersabda: telah datang kepadamu bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah. Allah mewajibkan atas kamu sekalian berpuasa di dalamnya. Selama bulan ini, pintu surga di buka, pintu neraka ditutup dan syaitan-syaitan dibelenggu. Di dalamnya terdapat malam Lailatul Qadr yang lebih baik dari pada seribu bulan. Barang siapa yang tidak mendapatkan kebaikan pada malam ini,maka ia tidak mendapatkan kebaikan Lailatul Qadr.
3. Do’a Berbuka Puasa
“Dari Mu’adz bin Zahrah, bahwasanya telah sampai kepadanya bahwa nabi Muhammad Saw. apabila berbuka, beliau berdoa: “Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (vol. VII/no. 2360), al-Baihaqi dalam al-Sunan (vol. II, no. 8392) dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf (vol. II, no. 9744). Di dalam hadis ini terdapat sosok Mu’adz bin Zahrah yang dipermasalahkan para kritikus hadis. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani (Tahdzibul Kamal, vol. XXIIX, hal. 122, Tahdzibut Tahdzib, vol. X, hal. 172) tabiin satu ini sering meriwayatkan hadis secara mursal (tidak menyebutkan perawi dari tingkatan sahabat).
Al-Nawawi dalam al-Adzkar (hal. 190), kitab yang menghimpun do’a-do’a, juga mengakui hadis ini memiliki status mursal. Selain itu, Ibnu Qayyim dalam Zadul Ma’ad (vol. II, hal. 48) menilai hadis ini la yutsbat (tidak pasti berasal dari nabi), al-Syaukani dalam Naylul Authar menilainya matruk (tidak digunakan). Menurut Albani dalam Irwaul Ghalil (vol. IV, hal. 38), hadis ini berstatus dha’if.
Sekalipun jalurnya banyak, hadis ini tidak bisa terangkat menjadi hasan seperti yang dinyatakan dalam adagium ‘ya’dhadhu ba’dhahu ba’dhan’ (menguatkan satu sama lain), karena status dhaif-nya yang tingkat tinggi. Maka, dalam hal ini berlaku kaedah, katsaratu al-turuq la tadullu ‘ala sihhati al-hadist tamaman (banyaknya jalur periwayatan tidak menunjukkan kesahihan hadis secara otomatis). Sebagai alternatif do’a yang bisa dipanjatkan saat berbuka adalah doa berikut:
Dari Abdullah bin Umar bin Khattab Ra. ia berkata, adalah Rasulullah Saw. apabila berbuka, beliau berdo’a: “dzahab al-zhamau wa ibtalati al-uruqu wa tsabata al-ajru insya Allah” (telah hilanglah rasa dahaga, dan telah basahlah tenggorokan, dan tetaplah pahala, insya Allah). (HR. Abu Dawud, Nasai, Bazar, Dlaruqutni, Hakim dan Baihaqi)
4. Berbuka dengan Kurma
“Jika salah seorang di antara kamu sekalian berbuka, hendaklah ia berbuka dengan kurma, jika ia tidak menemukannya, maka dengan air, karena sesungguhnya air itu suci”.
Hadis tentang berbuka puasa dengan kurma dengan redaksi yang melaporkan sabda nabi (sunnah qauliiyah) seperti ini menurut tiga orang kritikus hadis kontemporer, Muqbil bin Hadi, al-Hilali dan al-Albani (Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi, vol. II, 158, Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah, vol. IV, hal. 199) adalah hadis dha’if.
Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad (no. 16655), Tirmidzi (no. 660), Ibnu Majah (no. 1699), al-Darimi (no. 1754) dalam Sunan mereka masing-masing, Ibnu Hiban dalam al-Sahih (no. 3584), Tabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (no. 6196) dan Baihaqi dalam Sya’bul Iman (no. 3742) dan al-Nasai dalam al-Sunan al-Kubra (no. 3326).
Sekalipun hadis ini diriwayatkan oleh banyak penulis hadis (mukharrij), namun hanya memiliki jalur tunggal, yaitu dari Hafshah binti Shirrin dari Rabab dari Salman bin Amir. Menurut al-Dzahabi dalam Mizanul I’tidal (vol. IV. Hal. 606) wanita bernama Rabab dalam hadis ini adalah tokoh yang tidak diketahui (la tu’raf).
Hadis ini tidak memiliki satu pun syahid (penguat dari hadis lain), kecuali satu hadis dari jalur sahabat Anas bin Malik yang ternyata di dalamnya juga terdapat illat (kecacatan), karena terdapat seorang perawi yang bernama Said bin Amir yang dinilai sering melakukan kesalahan (yukhti katsiran) (Albani, Irwaul Ghalil, vol. IV, hal. 50).
Sebagai alternatif dari ke-dha’if-an hadis qauli mengenai berbuka dengan kurma di atas, terdapat satu hadis fi’liy (sunnah fi’liyah), yang diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik. Hadis tersebut berbunyi :
Artinya: “Dari Anas bin Malik ia berkata, adalah “Rasulullah Sawbiasa berbuka dengan beberapa biji ruthab (kurma masak yang belum jadi tamr) sebelum shalat Maghrib; jika tidak ada beberapa biji ruthab, maka cukup beberap biji tamr (kurma kering); jika itu tidak ada juga, maka beliau minum beberapa teguk air.” (HR Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, Hakim dan Baihaqi)
Perbedaan redaksi dalam hadis, antara perintah (fi’lul amri) dan laporan sahabat mengenai perbuatan nabi, membawa implikasi sendiri dalam penetapan hukum. Dalam usul fikih diterangkan bahwa hadis yang datang dalam bentuk fi’lu al-amri bisa bermakna sunnah (yufidu al-sunnah) atau bahkan wajib (yufidu al-wujub). Hal tersebut berbeda dengan satu perbuatan yang dilakukan nabi lalu diceritakan oleh sahabatnya (sunnah fi’liyyah).
Bisa saja perbuatan nabi yang dilaporkan dalam hadis tersebut terjadi hanya beberapa kali, dan selain itu, bisa pula tidak ada unsur ibadah di dalam perbuatan tersebut (laysa minal qurbah). Namun, apapun, paling tidak yang bisa dipastikan dari sunnah fi’liyah yang berdiri sendiri adalah ia bukanlah satu kewajiban agama. Satu kaedah menerangkan: “mujarradu al-fi’li la yufidu al-wujub” (perbuatan nabi saja tidak mengindikasikan wajibnya perbuatan tersebut).
Berhubung artikel yang kami sajikan terlalu panjang maka Silahkan baca lanjutan artikel ini di Bagian 2
Bagian 2 : 7 Hadits Palsu Seputar Ramadhan (Bagian 2)
وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ مِنَ الْأَئِمَّةِ إِنَّهُ يَجُوْزُ أَنْ يَجْعَلَ الشَىْءَ وَاجِبًا أَوْ مُسْتَحَبًّا بِحَدِيْثٍ ضَعِيْفٍ وَمَنْ قَالَ هَذَا فَقَدْ خَالَفَ اْلإِجْمَاعَ
“Tidak seorang imampun yang membolehkan menjadikan suatu perbuatan wajib ataupun sunnah dengan semata-mata hadis dha’if. Barang siapa yang mengatakan hal itu, maka sungguh ia telah menyalahi ijmak ulama”.
Hal itu ditambah lagi bahwa dalam agama Islam terdapat sebuah kaedah mengenai pelaksanaan ibadah, yakni ia harus berdasarkan nash yang otentik, baik dari al-Quran maupun al-Sunnah. Rumusan kaedah tersebut berbunyi:
الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ التَّحْرِيْمُ وَ الَتْوقِيْفُ
“Pada dasarnya hukum ibadah adalah haram dan menunggu perintah”
Namun dalam masalah keutamaan-keutamaan (fadhailu al-a’mal), terjadi perdebatan di kalangan para ulama. Sebagian ulama menolak secara mutlak hadis-hadis dhaif yang terkait dengan keutamaan-keutamaan satu perbuatan. Pendapat ini dipegang oleh Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm, Ibnul Arabi dan Ibnu Hibban (al-Hamadi, 2002: 37).
Sebagian menerimanya tanpa syarat apapun. Sebagian lagi menerima hadis dhaif dengan tiga syarat, yaitu: pertama, hadis yang diriwayatkan itu tidak terlalu daif, kedua, isinya termasuk ke dalam prinsip umum yang telah ditetapkan oleh al-Quran dan Hadis sahih lain, dan ketiga, tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat (Subhi Salih, 2009: 197). Ada pula yang menambahkan syarat keempat dan kelima, yaitu tidak menisbahkan hadis tersebut kepada Rasulullah saat mengamalkannya dan tidak mengandung informasi yang bertentangan dengan realitas empirik (Yusuf Qardlawi, Fatawa Mu'ashirah).
1. Do’a Memasuki Bulan Ramadan
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبَ قَالَ : اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ
Artinya; “Dari Anas bin Malik, ia berkata, adalah Nabi Saw. apabila memasuki bulan Rajab, beliau berdo’a, Ya Allah, karunialah kami keberkahan di bulan Rajab dan Sya’ban, dan karunialah kami keberkahan di bulan Ramadan”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad (vol. V, no. 2387), Ibnu Abi Dunya dalam Fadhlu Ramadhan, Imam Baihaqi dalam kitab Sya’bu al-Iman (vol. VIII, no. 3654), Abu Nu’aim dalam al-Hulliyah (vol. VI, no. 269), al-Bazzar dalam kitab Musnad (no 402) dan al-Tabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath (vol. IX, no. 4086). Dalam hadis ini terdapat dua tokoh yang lemah, yaitu Zaidah bin Abi Raqqad dan Ziyad bin Abdillah al-Numairi al-Bashri.
Menurut Bukhari dan Nasai (al-Dhu’afa wa al-Matrukin, vol. I, hal. 180) mereka adalah orang yang munkar al-hadist. Selain itu, hadis ini telah di-dhaif-kan oleh kritikus hadis terkemuka, di antaranya adalah al-Nawawi dalam kitab al-Adzkar (vol. I, no. 541), al-Dzahabi dalam Mizanu al-I’tidal (vol. II, hal. 65), Ibnu Hajar dalam Tahdzibu al-Tahdzib (vol. III, hal. 263), Ahmad Syakir dan Syu’aib Arnauth ketika men-tahqiq kitab Musnad imam Ahmad serta Nashiruddin Albani dalam Misykatul Mashabih (vol. I, hal. 306).
Do’a di atas sesungguhnya merupakan sesuatu yang sangat baik dan positif, karena seperti dinyatakan Ibnu Rajab al-Hanbali (al-Manawi, Faidhul Qadir, vol. V, hal. 167) ia melambangkan harapan seorang mukmin agar bisa mendapatkan kesempatan menambah amal salihnya. Di luar ibadah mahdlah, seorang muslim memang diperkenankan untuk mengucapkan do’a-do’a yang baik, bahkan dengan selain bahasa arab sekalipun. Inilah alasan mengapa para ahli hadis masih bersedia ‘meloloskannya’ dalam kitab hadis masing-masng.
Imam Ahmad pernah mengatakan: “idza jaa al-halal wa al-haram syaddadna fi al-asanid, wa idza jaa al-targhib wa al-tarhib tasahhalna fi al-asanid” (jika terdapat satu hadis mengenai halal dan haram, kami perketat penyeleksian sanad, dan jika terdapat satu hadis tentang tentang dorongan berbuat baik dan ancaman berbuat maksiat, kami mudahkan penyeleksian sanad) (dikutip dari Majmuatu al-Fatawa Ibnu Taimiyyah, vol. XIIX, hal. 65). Sehingga do’a di atas pada dasarnya tidak masalah jika ingin diucapkan, dengan syarat tidak meyakininya sebagai sebuah hadis yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.
2. Keutamaan Bulan Ramadan
أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرَهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Sahih-nya (vol. III, no. 1887) dan al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman (vol. III, no. 3068). Hadis ini tercantum pula dalam kitab Fadlailu Ramadan karya Ibnu Abi Dunya, al-Dlu’afa karya al-‘Uqaili dan al-Kamil karya Ibnu Adi. Mengenai statusnya, di dalam rantaian periwayatnya terdapat Sallam bin Sawar yang dinilai oleh para kritikus hadis sebagai orang yang dhaif (Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, hal. 441)) dan Maslamah bin al-Shalt, seorang perawi yang tidak dikenal (laysa bil ma’ruf) dan hadisnya tidak dipakai (matrukul hadis).
Menurut ahli hadis kontemporer, Nashiruddin Albani, hadis ini adalah hadis munkar (al-Silsilah al-Dlaifah, vol. IV, no. 1569). Hadis munkar adalah hadis di mana sanad-nya terdapat rawi yang pernah melakukan kesalahan yang parah, pelupa, atau ia seorang yang jelas melakukan maksiat (fasiq).
Ke-dhaif-an hadis ini bisa pula ditinjau dari segi matan, karena telah membagi dan membatasi rahmat, maghfirah dan pembebasan neraka dari Allah pada waktu-waktu tertentu. Padahal tiga hal tersebut ada selama berlangsungnya Ramadhan. Konsekwensi dari ke-dhaif-annya, hadis ini tidak bisa dipakai, karena telah menyempitkan apa yang dibuat luas oleh Allah. Para dai dan mubaligh sebaiknya tidak menyampaikannya, bahkan sebisa mungkin memperingatkan jamaah akan status dhaif dari hadis ini, baik secara matan ataupun sanad.
Sebagai alternatifnya, bisa disampaikan hadis-hadis lain yang menerangkan keutamaan bulan Ramadan. Misalnya hadis:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لَمَّا حَضَرَ رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ (رواه أحمد و البيهقي)
“Dari Abu Hurairah ia berkata, tatkala Ramadan tiba, Rasulullah Saw. bersabda: telah datang kepadamu bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah. Allah mewajibkan atas kamu sekalian berpuasa di dalamnya. Selama bulan ini, pintu surga di buka, pintu neraka ditutup dan syaitan-syaitan dibelenggu. Di dalamnya terdapat malam Lailatul Qadr yang lebih baik dari pada seribu bulan. Barang siapa yang tidak mendapatkan kebaikan pada malam ini,maka ia tidak mendapatkan kebaikan Lailatul Qadr.
3. Do’a Berbuka Puasa
عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَ عَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Dari Mu’adz bin Zahrah, bahwasanya telah sampai kepadanya bahwa nabi Muhammad Saw. apabila berbuka, beliau berdoa: “Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (vol. VII/no. 2360), al-Baihaqi dalam al-Sunan (vol. II, no. 8392) dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf (vol. II, no. 9744). Di dalam hadis ini terdapat sosok Mu’adz bin Zahrah yang dipermasalahkan para kritikus hadis. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani (Tahdzibul Kamal, vol. XXIIX, hal. 122, Tahdzibut Tahdzib, vol. X, hal. 172) tabiin satu ini sering meriwayatkan hadis secara mursal (tidak menyebutkan perawi dari tingkatan sahabat).
Al-Nawawi dalam al-Adzkar (hal. 190), kitab yang menghimpun do’a-do’a, juga mengakui hadis ini memiliki status mursal. Selain itu, Ibnu Qayyim dalam Zadul Ma’ad (vol. II, hal. 48) menilai hadis ini la yutsbat (tidak pasti berasal dari nabi), al-Syaukani dalam Naylul Authar menilainya matruk (tidak digunakan). Menurut Albani dalam Irwaul Ghalil (vol. IV, hal. 38), hadis ini berstatus dha’if.
Sekalipun jalurnya banyak, hadis ini tidak bisa terangkat menjadi hasan seperti yang dinyatakan dalam adagium ‘ya’dhadhu ba’dhahu ba’dhan’ (menguatkan satu sama lain), karena status dhaif-nya yang tingkat tinggi. Maka, dalam hal ini berlaku kaedah, katsaratu al-turuq la tadullu ‘ala sihhati al-hadist tamaman (banyaknya jalur periwayatan tidak menunjukkan kesahihan hadis secara otomatis). Sebagai alternatif do’a yang bisa dipanjatkan saat berbuka adalah doa berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ : ذَهَبَ الظَّمأُ ، وابْتَلَّتِ العُرُوقُ ، وثَبَتَ الأجرُ إِن شاءَ اللهُ
Dari Abdullah bin Umar bin Khattab Ra. ia berkata, adalah Rasulullah Saw. apabila berbuka, beliau berdo’a: “dzahab al-zhamau wa ibtalati al-uruqu wa tsabata al-ajru insya Allah” (telah hilanglah rasa dahaga, dan telah basahlah tenggorokan, dan tetaplah pahala, insya Allah). (HR. Abu Dawud, Nasai, Bazar, Dlaruqutni, Hakim dan Baihaqi)
4. Berbuka dengan Kurma
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَى مَاءٍ فَإِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ
“Jika salah seorang di antara kamu sekalian berbuka, hendaklah ia berbuka dengan kurma, jika ia tidak menemukannya, maka dengan air, karena sesungguhnya air itu suci”.
Hadis tentang berbuka puasa dengan kurma dengan redaksi yang melaporkan sabda nabi (sunnah qauliiyah) seperti ini menurut tiga orang kritikus hadis kontemporer, Muqbil bin Hadi, al-Hilali dan al-Albani (Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi, vol. II, 158, Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah, vol. IV, hal. 199) adalah hadis dha’if.
Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad (no. 16655), Tirmidzi (no. 660), Ibnu Majah (no. 1699), al-Darimi (no. 1754) dalam Sunan mereka masing-masing, Ibnu Hiban dalam al-Sahih (no. 3584), Tabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (no. 6196) dan Baihaqi dalam Sya’bul Iman (no. 3742) dan al-Nasai dalam al-Sunan al-Kubra (no. 3326).
Sekalipun hadis ini diriwayatkan oleh banyak penulis hadis (mukharrij), namun hanya memiliki jalur tunggal, yaitu dari Hafshah binti Shirrin dari Rabab dari Salman bin Amir. Menurut al-Dzahabi dalam Mizanul I’tidal (vol. IV. Hal. 606) wanita bernama Rabab dalam hadis ini adalah tokoh yang tidak diketahui (la tu’raf).
Hadis ini tidak memiliki satu pun syahid (penguat dari hadis lain), kecuali satu hadis dari jalur sahabat Anas bin Malik yang ternyata di dalamnya juga terdapat illat (kecacatan), karena terdapat seorang perawi yang bernama Said bin Amir yang dinilai sering melakukan kesalahan (yukhti katsiran) (Albani, Irwaul Ghalil, vol. IV, hal. 50).
Sebagai alternatif dari ke-dha’if-an hadis qauli mengenai berbuka dengan kurma di atas, terdapat satu hadis fi’liy (sunnah fi’liyah), yang diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik. Hadis tersebut berbunyi :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ عَلَى رُطَبَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتُمَيْرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
Artinya: “Dari Anas bin Malik ia berkata, adalah “Rasulullah Sawbiasa berbuka dengan beberapa biji ruthab (kurma masak yang belum jadi tamr) sebelum shalat Maghrib; jika tidak ada beberapa biji ruthab, maka cukup beberap biji tamr (kurma kering); jika itu tidak ada juga, maka beliau minum beberapa teguk air.” (HR Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, Hakim dan Baihaqi)
Perbedaan redaksi dalam hadis, antara perintah (fi’lul amri) dan laporan sahabat mengenai perbuatan nabi, membawa implikasi sendiri dalam penetapan hukum. Dalam usul fikih diterangkan bahwa hadis yang datang dalam bentuk fi’lu al-amri bisa bermakna sunnah (yufidu al-sunnah) atau bahkan wajib (yufidu al-wujub). Hal tersebut berbeda dengan satu perbuatan yang dilakukan nabi lalu diceritakan oleh sahabatnya (sunnah fi’liyyah).
Bisa saja perbuatan nabi yang dilaporkan dalam hadis tersebut terjadi hanya beberapa kali, dan selain itu, bisa pula tidak ada unsur ibadah di dalam perbuatan tersebut (laysa minal qurbah). Namun, apapun, paling tidak yang bisa dipastikan dari sunnah fi’liyah yang berdiri sendiri adalah ia bukanlah satu kewajiban agama. Satu kaedah menerangkan: “mujarradu al-fi’li la yufidu al-wujub” (perbuatan nabi saja tidak mengindikasikan wajibnya perbuatan tersebut).
Berhubung artikel yang kami sajikan terlalu panjang maka Silahkan baca lanjutan artikel ini di Bagian 2
Bagian 2 : 7 Hadits Palsu Seputar Ramadhan (Bagian 2)